Faktor-
Faktor yang Memepengaruhi Perkembangan Anak dalam Belajar
Oleh: Arsita Novitasari
FKIP/PGSD/UMSIDA
Kata
perkembangan seringkali digandengkan dengan pertumbuhan, keduanya memang
memiliki hubungan yang erat. Pertumbuhan dan perkembangan pada hakikatnya
adalah perubahan menuju ke tahap- tahap yang lebih baik lagi. Pertumbuhan lebih
bersifat perubahan dalam hal jasmaniah atau fisik, yaitu menunjukan perubahan dan penambahan secara
kuantitas atau dapat diukur. Contohnya penambahan tinggi badan dan berat badan
seseorang. Sedangkan perkembangan lebih condong dengan aspek- aspek psikis atau
rohaniah, berkenaan dengan kualitas yaitu peningkatan dan penyempurnaan fungsi.
(Syaodih dalam Syaiful Sagala). Pada dasarnya dilihat dari aspek psikologis
penyelenggaraan pendidikan khususnya mengenai pembelajaran, para ahli
mengemukakan empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji faktor- faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak dalam belajar, yaitu:
1. Pandangan Nativisme
Kata
“Native” memilikiarti yaitu pembawaan
atau terlahir. Pembawaan adalah sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap
aliran psikologis. Pandangan ini dianut oleh Arthur Schopenhouer (1788-1880),
seorang filsuf asli Jerman. Beliau berpendapat bahwa setiap bayi itu lahir
dengan memiliki sifat-sifat dasar
tertentu yang disebut sifat pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk.
Setiap anak memiliki sifat bawaannya sendiri, sifat- sifat itu tidak bisa
dirubah dengan pengalaman lingkungan ataupun pendidikan.
Jika
ada ilmu pendidikan yang menganut faham ini, dapat dikatakan sebagai pedagogik
yang pesimistis. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalu anak memiliki
pembawaan jahat, maka ia akan menjadi jahat begitupun sebaliknya. Pembawaan
baik atau buruk ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar
Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa pandangan nativisme memiliki paham yaitu
manusia ditentukan oleh pembawaanya, sedangkan pendidikan dan lingkungan itu
tidak berpengaruh apa- apa.
2. Pandangan Naturalisme
Nature
yang berarti alam atau kodrat. Pandangan ini dipelopori oleh J.J Rouseau
(1712-1778). J.J Rouseau berpendapat bahwa setiap anak lahir dengan sifat dasar
atau pembawaan yang baik dan tidak ada seorang pun yang lahir dengan pembawaan
buruk. Namun pembawaan baik itu akan
rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau kebudayaan masyarakat.
Pandangan
ini tidak menganggap penting pendidikan karena menurut Rouseau pendidik wajib
membiarkan pertumbuhan anak pada alam, yang paling baik itu kembali ke alam (back to nature) dan menjauhkan anak-
anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat, sehingga kebaikan
anak- anak yang diperoleh secara alamiah sejak lahir dapt terlihat secara
spontan dan bebas.
3. Pandangan Empirisme
Paham
empirisme atau pengalaman dipelopori oleh seorang filsuf asal Inggris bernama
John Locke (1632- 1704). Paham empirisme bertentangan dengan paham nativisme
dan berpendapat bahwa anak sejak kecil itu bersih belum memilki sifat- sifat
pembawaan apapun. John Locke mengembangkan suatu teori yang dikenal dengan
toeri “Tabula Rasa” dimana beliau berpendapat bahwa seorang anak yang beru
lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih, maka diatas kertas putih itu
orang dapat membuat coretan menurut kehendaknya. Oleh karena itu, anak
memperoleh pengalaman- pengalaman empirik dari lingkungan, dan pengalaman
empirk inilah yang berpengaruh besar dan menentukan perkembangan anak.
Dalam
hal ini para penganut pandangan empiris menyatakan bahwa perkembangan anak
tergantung pada lingkungannya, sedangakan pembawaannya tidak penting karena
pada saat lahir anak masih bersih. Pengalaman anak diperoleh dari interaksi anak dengan lingkungan
disekitarnya yang berupa stimulan- stimulan dari alam bebas maupun diciptakan
oleh orang dewasa dalam program pendidikan. Jadi, jika terdapat ilmu pendidikan
yang mendasarkan pada paham ini dapat dikatakan sebagai pedagogik optimistis
karena menekankan arti pengaruh lingkungan dalam perkembangan anak.
4. Pandangan Konvergensi
Tokoh
pandangan konvergensi atau interaksionisme adalah Louis Wiliam Stren
(1871-1939), seorang ahli pendidikan, filosof dan psikolog berkebangsaan
Jerman. Teori ini disebut konvergensi karena berpendapat bahwa perkembangan
bukan hanya dilihat dari satu faktor, melainkan perpaduan dari hereditas
(pembawaan) dan lingkungan. Wiliam berpandangan bahwa sejak lahir anak telah
memiliki pembawaan baik maupun buruk. Dalam proses perkembangannya pembawaan
itu tidak akan berkembang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang
sesuai dengan perkembangan bakat itu, begitu pula sebaliknya.
Teori
konvergensi ini membuka kesempatan yang luas bagi terlaksananya pendidikan
sebagai pertolongan belajar kepada siswa. Alasannya potensi intelektual yang
dimiliki oleh anak dapat ditumbuhkembangkan dalam proses belajar, meskipun
dilain pihak pembawaan si anak akan membatasi perkembangan itu.
Aliran
konvergensi pada umumnya dapat diterima secara luas sebagai pandangan yang
tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Aliran ini telah menyebabkan
munculnya berbagai teori belajar seperti,
1) Model
belajar behavioral, yang terdiri dari belajar tuntas, belajar kontrol diri
sendiri, simulasi, dan belajar asertif
2) Model
pemrosesan informasi yang terdiri dari model mengajar inkuiri, presentase
kerangka dasar “advance organizer”, dan model pengembangan berpikir
Daftar Pustaka:
Sagala,syaiful.2010.“Konsep
dan Makna Pembelajaran”.Bandung: Alfabeta
Asrori,muhammad.2008.
“Psikologi Pembelajaran”. Bandung: CV.Wacana Prima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar