Minggu, 01 Desember 2013

Faktor-faktor perekembangan anak dalam belajar



Faktor- Faktor yang Memepengaruhi Perkembangan Anak dalam Belajar
Oleh: Arsita Novitasari
FKIP/PGSD/UMSIDA
Kata perkembangan seringkali digandengkan dengan pertumbuhan, keduanya memang memiliki hubungan yang erat. Pertumbuhan dan perkembangan pada hakikatnya adalah perubahan menuju ke tahap- tahap yang lebih baik lagi. Pertumbuhan lebih bersifat perubahan dalam hal jasmaniah atau fisik, yaitu  menunjukan perubahan dan penambahan secara kuantitas atau dapat diukur. Contohnya penambahan tinggi badan dan berat badan seseorang. Sedangkan perkembangan lebih condong dengan aspek- aspek psikis atau rohaniah, berkenaan dengan kualitas yaitu peningkatan dan penyempurnaan fungsi. (Syaodih dalam Syaiful Sagala). Pada dasarnya dilihat dari aspek psikologis penyelenggaraan pendidikan khususnya mengenai pembelajaran, para ahli mengemukakan empat pandangan yang dapat digunakan untuk  mengkaji faktor- faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam belajar, yaitu:

1.      Pandangan Nativisme
Kata “Native” memilikiarti yaitu pembawaan atau terlahir. Pembawaan adalah sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap aliran psikologis. Pandangan ini dianut oleh Arthur Schopenhouer (1788-1880), seorang filsuf asli Jerman. Beliau berpendapat bahwa setiap bayi itu lahir dengan  memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut sifat pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Setiap anak memiliki sifat bawaannya sendiri, sifat- sifat itu tidak bisa dirubah dengan pengalaman lingkungan ataupun pendidikan.
Jika ada ilmu pendidikan yang menganut faham ini, dapat dikatakan sebagai pedagogik yang pesimistis. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalu anak memiliki pembawaan jahat, maka ia akan menjadi jahat begitupun sebaliknya. Pembawaan baik atau buruk ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pandangan nativisme memiliki paham yaitu manusia ditentukan oleh pembawaanya, sedangkan pendidikan dan lingkungan itu tidak berpengaruh apa- apa.

2.      Pandangan Naturalisme
Nature yang berarti alam atau kodrat. Pandangan ini dipelopori oleh J.J Rouseau (1712-1778). J.J Rouseau berpendapat bahwa setiap anak lahir dengan sifat dasar atau pembawaan yang baik dan tidak ada seorang pun yang lahir dengan pembawaan buruk. Namun  pembawaan baik itu akan rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau kebudayaan masyarakat.
Pandangan ini tidak menganggap penting pendidikan karena menurut Rouseau pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam, yang paling baik itu kembali ke alam (back to nature) dan menjauhkan anak- anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat, sehingga kebaikan anak- anak yang diperoleh secara alamiah sejak lahir dapt terlihat secara spontan dan bebas.

3.      Pandangan Empirisme
Paham empirisme atau pengalaman dipelopori oleh seorang filsuf asal Inggris bernama John Locke (1632- 1704). Paham empirisme bertentangan dengan paham nativisme dan berpendapat bahwa anak sejak kecil itu bersih belum memilki sifat- sifat pembawaan apapun. John Locke mengembangkan suatu teori yang dikenal dengan toeri “Tabula Rasa” dimana beliau berpendapat bahwa seorang anak yang beru lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih, maka diatas kertas putih itu orang dapat membuat coretan menurut kehendaknya. Oleh karena itu, anak memperoleh pengalaman- pengalaman empirik dari lingkungan, dan pengalaman empirk inilah yang berpengaruh besar dan menentukan perkembangan anak.
Dalam hal ini para penganut pandangan empiris menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungannya, sedangakan pembawaannya tidak penting karena pada saat lahir anak masih bersih. Pengalaman anak diperoleh  dari interaksi anak dengan lingkungan disekitarnya yang berupa stimulan- stimulan dari alam bebas maupun diciptakan oleh orang dewasa dalam program pendidikan. Jadi, jika terdapat ilmu pendidikan yang mendasarkan pada paham ini dapat dikatakan sebagai pedagogik optimistis karena menekankan arti pengaruh lingkungan dalam perkembangan anak.

4.      Pandangan Konvergensi
Tokoh pandangan konvergensi atau interaksionisme adalah Louis Wiliam Stren (1871-1939), seorang ahli pendidikan, filosof dan psikolog berkebangsaan Jerman. Teori ini disebut konvergensi karena berpendapat bahwa perkembangan bukan hanya dilihat dari satu faktor, melainkan perpaduan dari hereditas (pembawaan) dan lingkungan. Wiliam berpandangan bahwa sejak lahir anak telah memiliki pembawaan baik maupun buruk. Dalam proses perkembangannya pembawaan itu tidak akan berkembang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat itu, begitu pula sebaliknya.
Teori konvergensi ini membuka kesempatan yang luas bagi terlaksananya pendidikan sebagai pertolongan belajar kepada siswa. Alasannya potensi intelektual yang dimiliki oleh anak dapat ditumbuhkembangkan dalam proses belajar, meskipun dilain pihak pembawaan si anak akan membatasi perkembangan itu.
Aliran konvergensi pada umumnya dapat diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Aliran ini telah menyebabkan munculnya berbagai teori belajar seperti,
1)      Model belajar behavioral, yang terdiri dari belajar tuntas, belajar kontrol diri sendiri, simulasi, dan belajar asertif
2)      Model pemrosesan informasi yang terdiri dari model mengajar inkuiri, presentase kerangka dasar “advance organizer”, dan model pengembangan berpikir


Daftar Pustaka:
Sagala,syaiful.2010.“Konsep dan Makna Pembelajaran”.Bandung: Alfabeta
Asrori,muhammad.2008. “Psikologi Pembelajaran”. Bandung: CV.Wacana Prima