Kamis, 07 November 2013

Kumpulan cerpen gue




Senyuman Dibalik Awan Kelabu
                                                            Oleh: Arsita Novitasari


I can’t forget you, when you’re gone.
You like a song, that goes around in my head.
Time make it go faster or
just decide to comeback to my happy heart

                                                                        By. Lenka “ Like a song”

Rasanya lagu ini tak pernah berhenti berdengung di telingaku. Lirik lagu dari salah satu penyanyi favoritku ini sangat membekas di hati. Mungkin, karena arti liriknya mirip sekali dengan kisahku yang darmatis.
Kenalin namaku “Tisa”. Sebenernya aku cewek  yang periang dan ramah, tapi sekarang entah mengapa tiba- tiba saja senyumku rada susah buat dikeluarin. Mungkin sejak kejadian itu. Yuppz, kejadian yang seakan- akan membalikkan seiisi duniaku. Langit jadi bumi dan bumi jadi langit. Seandaikan saja iman ku tidak membatasi, mungkin aku sudah lemah tak berdaya menghadapi kenyataan ini.
                                                                                                 ****

  Sa, bangun!” Jerit Nana tepat disebelah telinga kananku
“ Agh..hoam..ada apa Na?” Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba harus duduk tegap ketika Pak Agus datang. Pak Agus adalah guru Fisika yang paling menakutkan di sekolahku. Bagaimana tidak, rambut putih dan kumisnya yang mirip pak Raden seperti algojo yang siap menghukum siswa-siswa nakal disekolah.
 “ Gurunya udah datang tuh, tidur melulu. Emangnya tadi malem loe begadang lagi ya?” bisik Nana.
  Iya Na, tadi malem gue  begadang lagi.” jawabku datar.
 Jangan dipaksain kalo loe emang gak bisa ngelaksanain tugas buat cerpen itu”
 Gak Na, gue harus buktiin ke semua orang kalo gue pasti bisa.”
“ Tisa! Nana! kalian berdua itu ribut saja. Baru saja kelas dimulai tapi kalian sudah bikin kacau kelas saya. Ayo kalian kerjakan soal Fisika nomor 5 dan 6 di depan kelas.” perintah pak professor.
“Loe sih Sa, kita jadi kena omelannya profesor gadungan itu” gerutu Nana yang sebenernya gak ikhlas kalo namanya disebut- sebut sama tuh professor.
“ Kok jadi aku sih yang disalahin”
”Sssssssssttttttttttt..Ayo kalian maju dan kerjakan soalnya.”  bentak pak Agus galak.
“ Iya, pak” sahut tisa dan Nana bebarengan.
                       
Ting..Tong..Ting..Tong
“ Beri salam.” komando Alfin dengan dengan lantangnya .
“ Selamat siang, Bu.”
“ Selamat siang juga anak- anak. Lekas pulang ya, ibu tidak mau mendengar ada berita tawuran lagi!”  nasehat bu Tya sembari meninggalkan ruang kelas XII-Ia 2.
“ Ayo pulang?” ajak Nana.
“ Loe duluan aja Na, gue masih nyelesein cerpen gue. Lagipula loe kan udah ditungguin sama Radit.”
“ Yaudah aku duluan ya Sa, hati-hati loh..sekolah ini kan rada angker..hihihi..”
“ Apaan sih, dah sana pulang!” Nana adalah sahabat terbaikku. Dia kenal dengan kepribadianku yang suka membohongi perasaan sendiri. Ya, itulah aku. Sedikit aneh memang, tapi sudahlah itu pun hanya sebuah proses dalam diriku untuk menjadi orang yang kuat dan tabah.
 Mumpung sekolah sudah lumyan sepi, sekarang adalah waktu yang pas untuk  meneruskan cerpenku yang setengah jadi. Tit ( Bunyi power on ). Kunyalakan laptop dan bersiap untuk bermain bersama imajinasiku.

“Apa? Dimana? Gubrakkk…handphone yang awalnya kupegang kini terjatuh dan terpisah menjadi beberapa bagian. Tubuhku gemetar, jantungku serasa  berhenti berdetak dan aku terjatuh di diatas lantai yang berdebu. Dalam balutan kebaya yang baru saja ku genakan, kusebut nama “ Mama” sambil  terbata-bata. Emosi didalam jiwa tak mampu kupendung, hingga akhirnya aku menjerit sejadi-jadinya seperti orang yang kehilangan akal ditengah-tengah  wisuda SMP..Mama..Mama..Mama……..
Cuit-cuit ada telepon. Ups, ternyata handphone ku berdering. Segera ku ambil telepon disaku dan menjawabnya dengan suaraku yang santai.
 Aku masih di sekolah nek, mungkin sebentar lagi pulang. Uti tungguin Tisa pulang ya!”
“ Hati- hati di jalan, Sa!” ternyata benar tebakanku. Telepon itu berasal dari rumah yang merindukan aku untuk segera sampai disana. Nenekku tersayang…

                                                                        ****
“ Tisa, sudah makan?” tanya Uti.
“ Iya sebenar lagi aku makan, Uti ( Panggilan kesayanganku untuk nenek).
“ Cepetan! nanti keburu dingin lho nasinya!” teriak Uti dari ruang makan yang letaknya cukup jauh dari kamarku.

“Mama Kenapa Oma, jawab aku?” kugoyang-goyangkan tubuh nenekku tapi dia terus diam membisu dan  air matanya terus mengalir deras.
 “ Ada apa dengan Mama, Om?” tanyaku gemetar.
“Kenapa semua diam? katakan pada Clara apa yang terjadi?” tiba-tiba saja satu suara timbul ditengah padang pasir yang sunyi, dia mengatakan kabar duka dengan wajah polosnya. Dia mengenggam tanganku dengan erat seakan- akan dia mengerti apa yang tengah aku rasakan.
 “Mama meninggal kak!” ucap Tino. Dia adalah adiku yang paling bungsu. Sontak aku terdiam membisu. Tungkai kakiku lemas seperti tak mampu lagi menopang berat tubuhku.
 “ Sekarang kita tunggu jenasah mamamu datang” timbali Om Didik.

“ Tisaaaaa!!Tok.tok..Ayo makan!” suara Uti sepertinya terdengar lebih dekat dan mulai meninggi. Yuppz, bener! Dia tepat berada di belakang pintu kamarku. Segera kurapikan laptop dan lekas menuju ruang makan.
“ Sa, kamu gak kangen toh samaadik- adikmu?” tanya om Yanu sembari mengunyah nasi yang baru saja dia masukkan. Akupun menjawab “ Ya”.
“ Pelit banget jawabnya, kasian adikmu disana gak ada yang merhatiin. Walupun dia masuk pesantren, tapi kan  harus tetep disambangi toh?”
“ Iya Om, insyaallah hari minggu Tisa sudah punya rencana untuk jenguk Azka dan Fadel di pasantren.
“ Baguslah kalo begitu, sama siapa kesananya?” tanya om Yanu.
“ Mungkin sama Nana Om.” Jawabku datar.
“ Tak kirain sama pacarmu..haha..(Tertawa lebar).
“ Om, om..Tisa mau konsen dulu, udah kelas 3 SMA bukan waktunya pacar-pacaran.” 
“ Ummh, bagus itu jawabanmu, Sa”Timpali nenek.
“ Ibu ini ikut-ikut aja aah! ini urusan anak muda, ibu itu gak mungkin ngerti ?” sahut Om Yanu.
“ Hahhahahaha” semua tertwa lebar tapi hanya aku yang tersenyum tipis.

                                                                        ****

“ Pagi! tumben pagi-pagi gini udah nyampe sekolah? biasanya kamu kan selalu telat?” (langsung duduk disamping Tisa)
“ Pengen aja berangkat pagi, Na. Sekalian ngerjain cerpenku yang bentar lagi kelar.”
“ Cerpen apa Cerpen?” canda Nana.
“ Ya cerpenlah” sahutku.
“ Cerpenkan biasanya cerita fiksi, lok ini sih namaya kisah……..
“ Hophophop!” Kututup mulut Nana yang dari tadi nyerocos kayak kereta api  tanpa stasiun.
“ Udah deh, pergi sana jangan ganggu gue sampe bel masuk, Oke?”
“ Oke Bos.” Jawab Nana sambil melenggang pergi ke luar kelas. Apalagi kerjaanya kalo bukan ngerumpi bareng temen- temen cewek di depan kelas. Paling- paling ngomongin tentang si atlet basket number one alis Rizal  atau Rama sang pangeran yang baru saja dinobatin jadi top fashion model di majalah sekolah.

“ Jangan nangis Ra, masih ada aku disini. Mamamu akan hidup kekal disurga ”ujar Bela (menepuk pundak Clara).
“ Iya Bel ” jawabku lirih. Kulihat semua menangis didepan makam mama, Tak terkecuali dengan adik bungsuku, Tino. Dia masih terlalu kecil untuk kehilangan mama. Tapi anehnya, tak sedikitpun aku meilihat bayangan  ayah untuk menaburkan bunga di makam mama. Ayah memang sudah meninggallkan kami sejak aku kelas 6 SD, aku sendiri pun tak pernah tau mengapa gerangan pergi meninggalkan kami. Yang aku tahu, semenjak saat itu aku tinggal bersama nenek, mama dan Om Didik.
“ Clara ayo pulang?” ajak om Didik.
“ Iya om.” jawabku lirih. Aku tak kuasa untuk meninggalkan mama terbaring sendirian disana. Rasanya hati ini ingin sekali menjerit. Meminta mama untuk bangun dan kembali memelukku. Walaupun itu semua tak mungkin.” Ya Allah…Clara titip mama. Terima dia disisimu….
                                                         
****

Tingg …tong ..ting..tong…
“ Kimia lagi..Kimia lagi, kapan sih pelajaran kosong?” gerutu Nana dengan  ekspresi sebalnya.
“ Nanti kalo  kita lulus pasti banyak jam kosong.”  timbaliku sembari memasukkan laptop ke dalam laci meja.
“ Yee, itu sih namanya nganggur bukan jam kosong!”.
“ Udah tau gitu, ngapain komentar.”sahutku.
“ Iya juga ya? Nana kok bingung sendiri ya?”
“ LEMOT loe. Emang berapa IQ mu?” ejekku. Dan akhirnya kami pun tertawa bersama. Mentertawakan yang sebenarnya tidak lucu..hahahahhha
Sementara  itu,,
“ Tisa,kemari!” panggil guru kimia yang baru saja duduk dan menaruh tumpukan buku paket kimia diatas mejanya.
“ Iya pak, ada apa pak Kemal?” sahutku sopan.
“ Cerpenmu sudah selesai?”
“ Uummh..belum pak, tinggal bagian endingnya saja!”
“ Baiklah, tolong cepat diselesaikan ya, soalnya kamis sudah harus bapak setorkan ke Dinas Pendidikan.”
“ Baik pak,saya usahakan besok selesai.”
“ Ya sudah kembali duduk!”

Seminggu setelah kepergian mama hidupku kembali bersemangat. Tapi cobaan tuhan belum selesai. Galih, sang pangeran hatiku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang telah terjalin satu tahun lamanya. Semua berjalan secara sepihak . Aku sendiri tidak pernah tau alasan dia meninggalkanku. Orang yang seharusnya ada didekatku dan menghiburku kini menghilang. Bisakah kau bayangkan, bagaimana hancurnya perasaanku? Semua orang yang aku sayangi pergi menghilang tanpa jejak . mama, Galih dan ayah.

“ Ya, ampun Tisa masa jam istirahat kamu peke buat nulis cerpen juga, gak laper apa?” tanya Nana sambil mengunyah roti yang baru saja dia masukan ke dalam mulutnya.
“ Laper sih. Tapi mau giman lagi, cerpen ini harus kelar besok?”
“ Hah, besok? uhuk..uhuk..uhuk.”
“ Ini minumnya, makanya kalo makan jangan sambil ngomong. Keselek kan jadinya!” Kusodorkan segelas air mineral kepada Nana, yang sedang tersedak karena mendengar ucapanku.
“ Makasih, makasih..Mendadak kena serangan jantung aku. Masa sih Sa, besok harus kelar ? yakin loe bisa nyelesein cerpennya?” tanya Nana.
”AKU YAKIN BISA.” jawabku penuh semangat. Jujur, hanya Nana lah satu-satunya temanku di sekolah yang bisa melihatku tersenyum dan sesemangat ini.

“ Clara, buka pintunya nak! Ini ada Bela” teriak Oma dari balik pintu kamarku.
Kkrekk. suara pintu  berdecit tanda pintu sedikit terbuka. Entah siapa gerangan yang akan muncul dari balik pintu. Oma atau Bela?.
”Bela? ngapain kamu kesini?” tanyaku terheran- heran.
”Kamu pake nanya sih Ra, sekarang temen mana sih yang gak kuatir misal sahabatnya sendiri sudah gak masuk sekolah lima hari ?”
“ Makasih ya, udah jenguk aku.” Jawabku lirih
“ Kamu kenapa lagi, bukannya waktu itu kamu udah bisa bangkit?”
“ Galih ,Bel! Dia mutusin aku.”
“ Hah, yang bener kamu?” Kenapa kamu gak cerita dari kemarin?” tanya Bela dengan mimic kagetnya.
“ Aku takut gangu kamu Bel, aku enggak  mau jadi beban buat pikiran kamu.”
“ Ra, kita udah sahabatan dari keci , kamu masih bilang ganggu? kamu tuh segalanya buat aku. Jangan blang kayak gitu lagi ya. Aku tuh udah nganggep kamu sebagai adekku sendiri.”
“ Makasih Bel, kamu udah perhatian banget.” Jawabku dengan untain air mata yang sejak tadi
membasahi pipiku.
“ Demi aku, kamu harus bisa ngelanjutin hidup kamu, jalanmu masih panjang, Ra”
“ Bantu aku Bel, buat keluar dari lembaran hidupku yang tak semestinya aku jalani. Oh iya, aku mau tunjukin ke kamu sesuatu.” Sembari menhapus linangan air mata, aku mencari sesuatu yang ku selipkan dibuku diari.
“ Apa?” jawab Bela penasaran.
“ Ini tiket kereta ke Jogja.” Ucapku datar.
“ Maksudnya? kamu mau berlibur ke Jogja?”
Aku menggelengkan kepala.
“ Lalu apa?” tanya Bela.
“ Aku memutuskan untuk pindah sekolah ke Jogja, besok!” Ini adalah keputusan yang berat buatku. Aku merasa sudah cukup air mata ini mengalir, sekarang tiba waktunya untuk membuka jendela baruku. Walaupun ku tahu semuanya tak akan pernah terlupakan, tetapi nafas ini tak bisa berhenti berhembus di sini. Ya, semua terekam dalam suatu kenangan yang kusimpan di dalam hatiku yang terdalam.
Bela menghela nafas dan menghembuskannya dengan sangat perlahan. “ Baiklah, bila ini jalan yang kau pilih, aku akan selalu mendukungmu dan harus kau tahu aku ada disini!” sembari meletakan tangannya di dadaku.
“ Terima kasih Bela untuk semuanya. Kaulah sahabat terbaik yang pernah ada dihidupku.”
“ Sama-sama, Ra. Jaga dirimu”jawabnya datar . Kami pun berpelukan untuk terakhir kalinya. Bela menahan air matanya agar tidak jatuh di bahuku,  demi aku dia rela menahannya.

                                                         ****
Malam ini cuaca kota Jogja sangatlah dingin, setelah diguyur hujan sejak aku pulang sekolah hingga adzan magrib, hujan tak sedikit pun menunnjukan tanda- tanda untuk berhenti. Setelah menghabiskan segelas susu coklat hangat buatan Uti kuputuskan untuk menaruh seluruh badanku di atas kasur yang empuk. Terlintas sejenak bayangan mama dan ayah dipikiranku. Mereka tertawa bersama dan bergandengan tangan. Alangkah indahnya jika semua itu nyata. Tak terasa air mataku telah membasahi bantal yag aku gunakan sebagai sandaran kepalaku. Aku merindukan mereka….sangat rindu.

 “ Pak, ini cerpennya. Sudah saya print out jadi tingal dikirim saja.” Ucapku pada pak Kemal sembari memberikan naskah cerpen yang akan dikirim.
“ Baiklah. Pak Kemal bangga padamu Tisa, walaupun kamu anak pindahan tapi kamu  bisa membuat sekolah ini bangga padamu.”
“ Terima kasih pujiannya, pak. Maaf saya harus kembali ke kelas.” pamitku sopan.
“ Oh,silakan tunggu hasilnya seminggu lagi ya.”

Seminggu kemudian,,

“ Sa.liat deh  kamu menang Sa!” Nana menunjukan nama-nama pemenang lomba cerpen di layar handphonenya.
  Iya Na, aku menang. Subhanallah!” jawabku kegirangan.
“ Kamu juara satu ,Sa. Kamu hebat banget bisa ngalahin teman- teman dari seluruh Indonesia.”
Aku melihat ikhasnya tawa Nana ketika mengucapkan selamat padaku. Dia memperlihatkan kembali padaku bagaimana indahnya tertawa dan untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, aku merasa bahagia dan bisa tertawa lepas bersama Nana.
Esoknya, aku ditemani Nana pergi ke Dinas Pendidikan untuk mengambil Piala serta sertifikat. Tak terasa mataku memanas dan jatuhlah segelintir air dari pelupuk mataku. Kali ini bukan untuk kesedihan tetapi untuk kebahagian. Nana yang melihat keadaanku langsung tercengang dan memberikan selembar tisu untuk menyeka air mataku yang jatuh. Dia seakan tahu apa yang tengah aku rasakan. Dia mengajakku untuk duduk di bangku taman dan mengatakan beberapa patah kata,
 “ Inilah rencana tuhan, Tisa. Terbitlah dengan jiwa yang baru, goreskan kembali tinta pelangi dalam dirimu. Aku dan Bela akan selalu tersenyum untukmu. Kami akan bahagia bila melihat seseorang yang bernama Adella Latisa Clara kembali ceria.”
“ Makasih Na, buat semangatnya. Rasanya tak pantas bila aku terus menyia-nyiakan waktuku hanya untuk bernostalgia dan bernaung dalam gelapnya  kehidupan. Sedangkan nikmat yang Tuhan berikan kepadaku begitu besar, termasuk adanya dirimu di dalam hidupku.”
“ Good, Sa!  Gue suka loe  yang seperti ini. Tetep terseyum ya! Heheheh.”
            Tiba- tiba saja terdengar sebuah teriakan yang memanggil namaku dari arah barat. Aku tak mengenal siapakah pemilik suara itu, namun batinku berkata lain. Ku perhatikan sosok laki- laki setengah baya yang berlari menghampiriku. Raut wajahnya tak asing bagiku, kulit sawo matang dan kumisnya yang tebal tetap sama seperti lima tahun yang lalu. “ Ayyaah….” Ucapku lirih.
“ Tisssa.. maafkan ayah. Ayah tak pernah bermaksud untuk meninggalkan keluarga kita. Ayah terpaksa.! Ayah ditipu orang dan harus membayar ganti rugi . Maka dari itu, ayah pergi untuk mencari pekerjaan lain agar mampu melunasinya. Ayah malu  untuk bertemu mama dan kamu.”              Laki- laki itu terus bercerita dengan berlinang air mata dan memelukku dengan eratnya.  Aku bisa merasakan  penyesalan yang dalam pada pelukannya. Hati kecilku sedikit berbisik bahwa aku harus memaafkanya…..
 Ayah, mama sudddah..”
  Iya, ayah tau. Maka dari itu, bisakah kau antarkan ayah ke  makam mama? Ayah harus meminta maaf karena tidak bertanggung jawab pada keluarga kita.”
“ Iy ayah, Tisa kangen sama ayah!”  kali ini giliranku yang memeluknya. Aku tak ingin dia melepaskan pelukanku, aku ingin tetap bersamanya. Selamanya….
            Akhirnya, kami bertiga pun pergi mengunjungi makam mama. Di sepanjang perjalanan tak henti- hentinya kupandangi sosok lelaki disampingku yang kini tengah menggenggam tangan dan berjalan bersamaku.
Ayah menaburkan bunga dan menangis tersedu-sedu di tempat peristirahatan mama.   Kutinggalkan ayah dan Nana sejenak untuk berjalan- jalan di area perkuburan. Semilir angin yang menerpaku seakan menghilangkan semua duka dan menyisakan senyuman dalam hidupku.   Aku tahu, Tuhan tak akan pernah  meninggalkanku sendirian. Dia telah memberiku lembaran hidup baru yang harus ku lukis dengan ribuan senyuman. Tentunya bersama ayah, Nana, dan semua orang yang kusayangi dan menyayangiku.
           
                                                                        ****








3 komentar:

  1. Ini cerpennya panjang tapi menarik, nulis yg banyak y, .,
    kunjungi jga my blog

    BalasHapus
  2. iya..makasih ya..
    ni hardy kah???

    BalasHapus
  3. ojok akeh akeh arek2 mlz mocoe

    BalasHapus