Senyuman
Dibalik Awan Kelabu
Oleh:
Arsita Novitasari
I can’t forget
you, when you’re gone.
You like a song,
that goes around in my head.
Time make it go
faster or
just decide to
comeback to my happy heart
By.
Lenka “ Like a song”
Rasanya
lagu ini tak pernah berhenti berdengung di telingaku. Lirik lagu dari salah
satu penyanyi favoritku ini sangat membekas di hati. Mungkin, karena arti
liriknya mirip sekali dengan kisahku yang darmatis.
Kenalin
namaku “Tisa”. Sebenernya aku cewek yang
periang dan ramah, tapi sekarang entah mengapa tiba- tiba saja senyumku rada
susah buat dikeluarin. Mungkin sejak kejadian itu. Yuppz, kejadian yang seakan-
akan membalikkan seiisi duniaku. Langit jadi bumi dan bumi jadi langit. Seandaikan
saja iman ku tidak membatasi, mungkin aku sudah lemah tak berdaya menghadapi
kenyataan ini.
****
“ Sa, bangun!” Jerit Nana tepat disebelah
telinga kananku
“ Agh..hoam..ada
apa Na?” Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba harus duduk tegap ketika Pak
Agus datang. Pak Agus adalah guru Fisika yang paling menakutkan di sekolahku. Bagaimana
tidak, rambut putih dan kumisnya yang mirip pak Raden seperti algojo yang siap
menghukum siswa-siswa nakal disekolah.
“ Gurunya udah datang tuh, tidur melulu. Emangnya
tadi malem loe begadang lagi ya?” bisik Nana.
“ Iya
Na, tadi malem gue begadang lagi.” jawabku
datar.
“ Jangan dipaksain kalo loe emang gak bisa
ngelaksanain tugas buat cerpen itu”
“ Gak Na, gue harus buktiin ke semua orang kalo
gue pasti bisa.”
“ Tisa! Nana! kalian
berdua itu ribut saja. Baru saja kelas dimulai tapi kalian sudah bikin kacau
kelas saya. Ayo kalian kerjakan soal Fisika nomor 5 dan 6 di depan kelas.”
perintah pak professor.
“Loe sih Sa, kita
jadi kena omelannya profesor gadungan itu” gerutu Nana yang sebenernya gak
ikhlas kalo namanya disebut- sebut sama tuh professor.
“ Kok jadi aku
sih yang disalahin”
”Sssssssssttttttttttt..Ayo
kalian maju dan kerjakan soalnya.”
bentak pak Agus galak.
“ Iya, pak”
sahut tisa dan Nana bebarengan.
Ting..Tong..Ting..Tong
“ Beri salam.”
komando Alfin dengan dengan lantangnya .
“ Selamat siang,
Bu.”
“ Selamat siang
juga anak- anak. Lekas pulang ya, ibu tidak mau mendengar ada berita tawuran
lagi!” nasehat bu Tya sembari
meninggalkan ruang kelas XII-Ia 2.
“ Ayo pulang?”
ajak Nana.
“ Loe duluan aja Na, gue masih nyelesein
cerpen gue. Lagipula loe kan udah ditungguin sama Radit.”
“ Yaudah aku
duluan ya Sa, hati-hati loh..sekolah ini kan rada angker..hihihi..”
“ Apaan sih, dah
sana pulang!” Nana adalah sahabat terbaikku. Dia kenal dengan kepribadianku yang
suka membohongi perasaan sendiri. Ya, itulah aku. Sedikit aneh memang, tapi
sudahlah itu pun hanya sebuah proses dalam diriku untuk menjadi orang yang kuat
dan tabah.
Mumpung sekolah sudah lumyan sepi, sekarang
adalah waktu yang pas untuk meneruskan
cerpenku yang setengah jadi. Tit ( Bunyi power on ). Kunyalakan laptop dan
bersiap untuk bermain bersama imajinasiku.
“Apa? Dimana? Gubrakkk…handphone yang awalnya kupegang kini
terjatuh dan terpisah menjadi beberapa bagian. Tubuhku gemetar, jantungku
serasa berhenti berdetak dan aku
terjatuh di diatas lantai yang berdebu. Dalam balutan kebaya yang baru saja ku
genakan, kusebut nama “ Mama” sambil
terbata-bata. Emosi didalam jiwa tak mampu kupendung, hingga akhirnya
aku menjerit sejadi-jadinya seperti orang yang kehilangan akal
ditengah-tengah wisuda SMP..Mama..Mama..Mama……..
“ Cuit-cuit ada telepon. Ups, ternyata
handphone ku berdering. Segera ku ambil telepon disaku dan menjawabnya dengan
suaraku yang santai.
“ Aku masih di sekolah nek, mungkin sebentar
lagi pulang. Uti tungguin Tisa pulang ya!”
“ Hati- hati di
jalan, Sa!” ternyata benar tebakanku. Telepon itu berasal dari rumah yang
merindukan aku untuk segera sampai disana. Nenekku tersayang…
****
“ Tisa, sudah
makan?” tanya Uti.
“ Iya sebenar
lagi aku makan, Uti ( Panggilan kesayanganku untuk nenek).
“ Cepetan! nanti
keburu dingin lho nasinya!” teriak Uti dari ruang makan yang letaknya cukup
jauh dari kamarku.
“Mama
Kenapa Oma, jawab aku?” kugoyang-goyangkan tubuh nenekku tapi dia terus diam
membisu dan air matanya terus mengalir
deras.
“ Ada apa dengan Mama, Om?” tanyaku gemetar.
“Kenapa
semua diam? katakan pada Clara apa yang terjadi?” tiba-tiba saja satu suara
timbul ditengah padang pasir yang sunyi, dia mengatakan kabar duka dengan wajah
polosnya. Dia mengenggam tanganku dengan erat seakan- akan dia mengerti apa
yang tengah aku rasakan.
“Mama meninggal kak!” ucap Tino. Dia adalah adiku
yang paling bungsu. Sontak aku terdiam membisu. Tungkai kakiku lemas seperti
tak mampu lagi menopang berat tubuhku.
“ Sekarang kita tunggu jenasah mamamu datang” timbali
Om Didik.
“
Tisaaaaa!!Tok.tok..Ayo makan!” suara Uti sepertinya terdengar lebih dekat dan
mulai meninggi. Yuppz, bener! Dia tepat berada di belakang pintu kamarku. Segera
kurapikan laptop dan lekas menuju ruang makan.
“ Sa, kamu gak
kangen toh samaadik- adikmu?” tanya om Yanu sembari mengunyah nasi yang baru
saja dia masukkan. Akupun menjawab “ Ya”.
“ Pelit banget
jawabnya, kasian adikmu disana gak ada yang merhatiin. Walupun dia masuk
pesantren, tapi kan harus tetep disambangi
toh?”
“ Iya Om,
insyaallah hari minggu Tisa sudah punya rencana untuk jenguk Azka dan Fadel di
pasantren.
“ Baguslah kalo
begitu, sama siapa kesananya?” tanya om Yanu.
“ Mungkin sama
Nana Om.” Jawabku datar.
“ Tak kirain
sama pacarmu..haha..(Tertawa lebar).
“ Om, om..Tisa
mau konsen dulu, udah kelas 3 SMA bukan waktunya pacar-pacaran.”
“ Ummh, bagus
itu jawabanmu, Sa”Timpali nenek.
“ Ibu ini ikut-ikut
aja aah! ini urusan anak muda, ibu itu gak mungkin ngerti ?” sahut Om Yanu.
“ Hahhahahaha” semua
tertwa lebar tapi hanya aku yang tersenyum tipis.
****
“ Pagi! tumben
pagi-pagi gini udah nyampe sekolah? biasanya kamu kan selalu telat?” (langsung
duduk disamping Tisa)
“ Pengen aja
berangkat pagi, Na. Sekalian ngerjain cerpenku yang bentar lagi kelar.”
“ Cerpen apa
Cerpen?” canda Nana.
“ Ya cerpenlah” sahutku.
“ Cerpenkan
biasanya cerita fiksi, lok ini sih namaya kisah……..
“ Hophophop!” Kututup
mulut Nana yang dari tadi nyerocos kayak kereta api tanpa stasiun.
“ Udah deh,
pergi sana jangan ganggu gue sampe bel masuk, Oke?”
“ Oke Bos.”
Jawab Nana sambil melenggang pergi ke luar kelas. Apalagi kerjaanya kalo bukan
ngerumpi bareng temen- temen cewek di depan kelas. Paling- paling ngomongin
tentang si atlet basket number one
alis Rizal atau Rama sang pangeran yang
baru saja dinobatin jadi top fashion
model di majalah sekolah.
“
Jangan nangis Ra, masih ada aku disini. Mamamu akan hidup kekal disurga ”ujar
Bela (menepuk pundak Clara).
“
Iya Bel ” jawabku lirih. Kulihat semua menangis didepan makam mama, Tak terkecuali
dengan adik bungsuku, Tino. Dia masih terlalu kecil untuk kehilangan mama. Tapi
anehnya, tak sedikitpun aku meilihat bayangan
ayah untuk menaburkan bunga di makam mama. Ayah memang sudah
meninggallkan kami sejak aku kelas 6 SD, aku sendiri pun tak pernah tau mengapa
gerangan pergi meninggalkan kami. Yang aku tahu, semenjak saat itu aku tinggal
bersama nenek, mama dan Om Didik.
“
Clara ayo pulang?” ajak om Didik.
“
Iya om.” jawabku lirih. Aku tak kuasa untuk meninggalkan mama terbaring
sendirian disana. Rasanya hati ini ingin sekali menjerit. Meminta mama untuk
bangun dan kembali memelukku. Walaupun itu semua tak mungkin.” Ya Allah…Clara
titip mama. Terima dia disisimu….
****
Tingg …tong
..ting..tong…
“ Kimia
lagi..Kimia lagi, kapan sih pelajaran kosong?” gerutu Nana dengan ekspresi sebalnya.
“ Nanti kalo kita lulus pasti banyak jam kosong.” timbaliku sembari memasukkan laptop ke dalam
laci meja.
“ Yee, itu sih
namanya nganggur bukan jam kosong!”.
“ Udah tau gitu,
ngapain komentar.”sahutku.
“ Iya juga ya?
Nana kok bingung sendiri ya?”
“ LEMOT loe.
Emang berapa IQ mu?” ejekku. Dan akhirnya kami pun tertawa bersama.
Mentertawakan yang sebenarnya tidak lucu..hahahahhha
Sementara itu,,
“ Tisa,kemari!”
panggil guru kimia yang baru saja duduk dan menaruh tumpukan buku paket kimia
diatas mejanya.
“ Iya pak, ada
apa pak Kemal?” sahutku sopan.
“ Cerpenmu sudah
selesai?”
“ Uummh..belum
pak, tinggal bagian endingnya saja!”
“ Baiklah,
tolong cepat diselesaikan ya, soalnya kamis sudah harus bapak setorkan ke Dinas
Pendidikan.”
“ Baik pak,saya
usahakan besok selesai.”
“ Ya sudah
kembali duduk!”
Seminggu setelah kepergian mama hidupku
kembali bersemangat. Tapi cobaan tuhan belum selesai. Galih, sang pangeran
hatiku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang telah terjalin satu tahun
lamanya. Semua berjalan secara sepihak . Aku sendiri tidak pernah tau alasan
dia meninggalkanku. Orang yang seharusnya ada didekatku dan menghiburku kini
menghilang. Bisakah kau bayangkan, bagaimana hancurnya perasaanku? Semua orang
yang aku sayangi pergi menghilang tanpa jejak . mama, Galih dan ayah.
“ Ya, ampun Tisa
masa jam istirahat kamu peke buat nulis cerpen juga, gak laper apa?” tanya Nana
sambil mengunyah roti yang baru saja dia masukan ke dalam mulutnya.
“ Laper sih.
Tapi mau giman lagi, cerpen ini harus kelar besok?”
“ Hah, besok? uhuk..uhuk..uhuk.”
“ Ini minumnya,
makanya kalo makan jangan sambil ngomong. Keselek kan jadinya!” Kusodorkan
segelas air mineral kepada Nana, yang sedang tersedak karena mendengar
ucapanku.
“ Makasih, makasih..Mendadak
kena serangan jantung aku. Masa sih Sa, besok harus kelar ? yakin loe bisa
nyelesein cerpennya?” tanya Nana.
”AKU YAKIN
BISA.” jawabku penuh semangat. Jujur, hanya Nana lah satu-satunya temanku di sekolah
yang bisa melihatku tersenyum dan sesemangat ini.
“
Clara, buka pintunya nak! Ini ada Bela” teriak Oma dari balik pintu kamarku.
Kkrekk.
suara pintu berdecit tanda pintu sedikit
terbuka. Entah siapa gerangan yang akan muncul dari balik pintu. Oma atau
Bela?.
”Bela?
ngapain kamu kesini?” tanyaku terheran- heran.
”Kamu
pake nanya sih Ra, sekarang temen mana sih yang gak kuatir misal sahabatnya
sendiri sudah gak masuk sekolah lima hari ?”
“
Makasih ya, udah jenguk aku.” Jawabku lirih
“
Kamu kenapa lagi, bukannya waktu itu kamu udah bisa bangkit?”
“
Galih ,Bel! Dia mutusin aku.”
“
Hah, yang bener kamu?” Kenapa kamu gak cerita dari kemarin?” tanya Bela dengan
mimic kagetnya.
“
Aku takut gangu kamu Bel, aku enggak mau
jadi beban buat pikiran kamu.”
“
Ra, kita udah sahabatan dari keci , kamu masih bilang ganggu? kamu tuh segalanya
buat aku. Jangan blang kayak gitu lagi ya. Aku tuh udah nganggep kamu sebagai
adekku sendiri.”
“
Makasih Bel, kamu udah perhatian banget.” Jawabku dengan untain air mata yang
sejak tadi
membasahi
pipiku.
“
Demi aku, kamu harus bisa ngelanjutin hidup kamu, jalanmu masih panjang, Ra”
“
Bantu aku Bel, buat keluar dari lembaran hidupku yang tak semestinya aku
jalani. Oh iya, aku mau tunjukin ke kamu sesuatu.” Sembari menhapus linangan
air mata, aku mencari sesuatu yang ku selipkan dibuku diari.
“
Apa?” jawab Bela penasaran.
“
Ini tiket kereta ke Jogja.” Ucapku datar.
“
Maksudnya? kamu mau berlibur ke Jogja?”
Aku
menggelengkan kepala.
“
Lalu apa?” tanya Bela.
“
Aku memutuskan untuk pindah sekolah ke Jogja, besok!” Ini adalah keputusan yang
berat buatku. Aku merasa sudah cukup air mata ini mengalir, sekarang tiba
waktunya untuk membuka jendela baruku. Walaupun ku tahu semuanya tak akan
pernah terlupakan, tetapi nafas ini tak bisa berhenti berhembus di sini. Ya,
semua terekam dalam suatu kenangan yang kusimpan di dalam hatiku yang terdalam.
Bela menghela nafas dan menghembuskannya
dengan sangat perlahan. “ Baiklah, bila ini jalan yang kau pilih, aku akan
selalu mendukungmu dan harus kau tahu aku ada disini!” sembari meletakan
tangannya di dadaku.
“
Terima kasih Bela untuk semuanya. Kaulah sahabat terbaik yang pernah ada
dihidupku.”
“
Sama-sama, Ra. Jaga dirimu”jawabnya datar . Kami pun berpelukan untuk terakhir
kalinya. Bela menahan air matanya agar tidak jatuh di bahuku, demi aku dia rela menahannya.
****
Malam
ini cuaca kota Jogja sangatlah dingin, setelah diguyur hujan sejak aku pulang
sekolah hingga adzan magrib, hujan tak sedikit pun menunnjukan tanda- tanda
untuk berhenti. Setelah menghabiskan segelas susu coklat hangat buatan Uti
kuputuskan untuk menaruh seluruh badanku di atas kasur yang empuk. Terlintas
sejenak bayangan mama dan ayah dipikiranku. Mereka tertawa bersama dan
bergandengan tangan. Alangkah indahnya jika semua itu nyata. Tak terasa air
mataku telah membasahi bantal yag aku gunakan sebagai sandaran kepalaku. Aku
merindukan mereka….sangat rindu.
“ Pak, ini cerpennya. Sudah saya print out jadi
tingal dikirim saja.” Ucapku pada pak Kemal sembari memberikan naskah cerpen
yang akan dikirim.
“ Baiklah. Pak
Kemal bangga padamu Tisa, walaupun kamu anak pindahan tapi kamu bisa membuat sekolah ini bangga padamu.”
“ Terima kasih
pujiannya, pak. Maaf saya harus kembali ke kelas.” pamitku sopan.
“ Oh,silakan
tunggu hasilnya seminggu lagi ya.”
Seminggu
kemudian,,
“ Sa.liat
deh kamu menang Sa!” Nana menunjukan
nama-nama pemenang lomba cerpen di layar handphonenya.
“ Iya Na, aku menang. Subhanallah!” jawabku
kegirangan.
“ Kamu juara
satu ,Sa. Kamu hebat banget bisa ngalahin teman- teman dari seluruh Indonesia.”
Aku
melihat ikhasnya tawa Nana ketika mengucapkan selamat padaku. Dia memperlihatkan
kembali padaku bagaimana indahnya tertawa dan untuk pertama kalinya setelah
kejadian itu, aku merasa bahagia dan bisa tertawa lepas bersama Nana.
Esoknya,
aku ditemani Nana pergi ke Dinas Pendidikan untuk mengambil Piala serta
sertifikat. Tak terasa mataku memanas dan jatuhlah segelintir air dari pelupuk
mataku. Kali ini bukan untuk kesedihan tetapi untuk kebahagian. Nana yang
melihat keadaanku langsung tercengang dan memberikan selembar tisu untuk
menyeka air mataku yang jatuh. Dia seakan tahu apa yang tengah aku rasakan. Dia
mengajakku untuk duduk di bangku taman dan mengatakan beberapa patah kata,
“ Inilah rencana tuhan, Tisa. Terbitlah dengan
jiwa yang baru, goreskan kembali tinta pelangi dalam dirimu. Aku dan Bela akan
selalu tersenyum untukmu. Kami akan bahagia bila melihat seseorang yang bernama
Adella Latisa Clara kembali ceria.”
“ Makasih Na,
buat semangatnya. Rasanya tak pantas bila aku terus menyia-nyiakan waktuku
hanya untuk bernostalgia dan bernaung dalam gelapnya kehidupan. Sedangkan nikmat yang Tuhan
berikan kepadaku begitu besar, termasuk adanya dirimu di dalam hidupku.”
“ Good, Sa! Gue suka loe yang seperti ini. Tetep terseyum ya! Heheheh.”
Tiba-
tiba saja terdengar sebuah teriakan yang memanggil namaku dari arah barat. Aku
tak mengenal siapakah pemilik suara itu, namun batinku berkata lain. Ku
perhatikan sosok laki- laki setengah baya yang berlari menghampiriku. Raut
wajahnya tak asing bagiku, kulit sawo matang dan kumisnya yang tebal tetap sama
seperti lima tahun yang lalu. “ Ayyaah….” Ucapku lirih.
“ Tisssa..
maafkan ayah. Ayah tak pernah bermaksud untuk meninggalkan keluarga kita. Ayah
terpaksa.! Ayah ditipu orang dan harus membayar ganti rugi . Maka dari itu,
ayah pergi untuk mencari pekerjaan lain agar mampu melunasinya. Ayah malu untuk bertemu mama dan kamu.” Laki-
laki itu terus bercerita dengan berlinang air mata dan memelukku dengan
eratnya. Aku bisa merasakan penyesalan yang dalam pada pelukannya. Hati kecilku
sedikit berbisik bahwa aku harus memaafkanya…..
“ Ayah, mama sudddah..”
“ Iya, ayah tau. Maka dari itu, bisakah kau
antarkan ayah ke makam mama? Ayah harus
meminta maaf karena tidak bertanggung jawab pada keluarga kita.”
“ Iy ayah, Tisa
kangen sama ayah!” kali ini giliranku
yang memeluknya. Aku tak ingin dia melepaskan pelukanku, aku ingin tetap
bersamanya. Selamanya….
Akhirnya, kami bertiga pun pergi
mengunjungi makam mama. Di sepanjang perjalanan tak henti- hentinya kupandangi
sosok lelaki disampingku yang kini tengah menggenggam tangan dan berjalan
bersamaku.
Ayah
menaburkan bunga dan menangis tersedu-sedu di tempat peristirahatan mama. Kutinggalkan ayah dan Nana sejenak untuk
berjalan- jalan di area perkuburan. Semilir angin yang menerpaku seakan
menghilangkan semua duka dan menyisakan senyuman dalam hidupku. Aku tahu, Tuhan tak akan pernah meninggalkanku sendirian. Dia telah memberiku
lembaran hidup baru yang harus ku lukis dengan ribuan senyuman. Tentunya
bersama ayah, Nana, dan semua orang yang kusayangi dan menyayangiku.
****